Rembangnews.com – Ada alasan tersendiri kenapa korban KDRT sulit meninggalkan pelaku kekerasan. Artikel ini akan mengulas beberapa hal yang menjadi alasan tersebut.
Beberapa hari terakhir publik sedang gempar dengan kasus KDRT Penyanyi Lesti Kejora. Setelah Rizky Billar berhasil ditetapkan tersangka, laporan KDRT malah dicabut oleh penggugat yaitu Lesti Kejora. Hal tersebut menjadi kekecewaan tersendiri bagi masyarakat yang telah mendukung korban KDRT Lesti Kejora. Namun usut punya usut, ada alasan tersendiri kenapa korban kekerasan dalam rumah tangga sulit meninggalkan pelaku kekerasan.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat menyebabkan trauma mendalam pada korban. Akan tetapi, sebagian korban KDRT memilih untuk tetap bersama dengan pasangannya.
Sebenarnya, ada banyak alasan yang menyebabkan korban KDRT sulit lepas dari jeratan pasangannya. Alasannya pun kompleks. Orang yang tidak pernah mengalami KDRT mungkin akan cukup sulit untuk memahami ini semua.
Berkut ini ulasan mengenai alasan mengapa korban KDRT akan cenderung sulit untuk meninggalkan pasangan dan hubungan toxicnya :
KDRT berakar pada keinginan salah satu untuk mengontrol pasangannya dengan ancaman atau paksaan. Pelaku KDRT akan mengancam melakukan kekerasan tak hanya pada dirinya, namun juga orang terdekatnya termasuk anak. Korban akan berpikir satu-satunya pilihan adalah untuk tetap tinggal dan menjaga dirinya serta orang terdekat untuk selamat.
Ini disebut juga dengan pelecehan emosional atau kontrol paksaan, agar korban percaya bahwa satu-satunya yang mencintai dan dapat menjaganya adalah pelaku. Saat pelaku dapat meyakinkan korban, korban akan merasa bersalah dan akhirnya memilih kembali.
Salah satu alasan lainnya korban KDRT memilih kembali pada pasangannya adalah tidak ada tempat lain yang dapat menerima mereka dengan berbagai alasan. Korban harus memilih untuk kembali pada pasangan atau menjadi tunawisma tanpa tunjangan pendukung hidup.
Korban KDRT bertahan karena merasa perceraian atau perpisahan akan jadi aib baginya. Apalagi kalau sampai orang-orang tahu pasangannya kejam. Ia justru malu karena gagal mempertahankan keharmonisan rumah tangganya.
Pelaku mungkin mengancam akan membunuh, menyakiti, atau mengganggu kehidupan korban dan keluarga korban bila ia nekat meninggalkan pelaku. Karena takut akan ancaman tersebut, korban jadi sulit berpikir jernih, apalagi sampai mencari bantuan.
Banyak korban KDRT bertahan karena ia bergantung secara finansial pada pelaku. Korban pun takut kalau ia meninggalkan pelaku, ia tak akan bisa menghidupi dia atau anak-anaknya.
Wanita korban KDRT sering mendapat tekanan sosial atau spiritual untuk bertahan dalam pernikahannya meskipun sarat kekerasan. Pasalnya, dalam budaya atau agama tertentu wanita harus patuh terhadap suami. Korban yang menelan mentah-mentah nilai tersebut akan kemudian percaya bahwa sudah sepantasnya ia tetap mematuhi suaminya.
Korban KDRT mungkin tak mau meninggalkan pernikahannya karena memikirkan masa depan anak. Ia takut bahwa perceraian atau perpisahannya akan membuat nasib anak jadi tak tentu. Demi kebaikan anak, ia pun memilih untuk bertahan.
Depresi yang menyerang korban KDRT membuatnya tak mampu bertindak, membela diri, apalagi meninggalkan pasangan. Pelaku juga biasanya mengekang korban sehingga korban tidak bisa mencari bantuan dari keluarga, polisi, atau yayasan pelindung korban kekerasan. Akibatnya korban jadi semakin merasa terisolasi dan tak punya pilihan lain.
Kekerasan secara verbal atau fisik tidak hanya dapat menyebabkan trauma saja, tetapi juga dapat berpengaruh terhadap kepercayaan diri korban, terlebih lagi jika ia sering disalahkan atas kekerasan fisik yang dialaminya.
Korban dapat mempercayai hal tersebut dan meyakini bahwa mereka bersalah atas perilaku pasangannya. Korban memiliki kebebasan yang terbatas untuk membuat keputusan dalam hubungan yang penuh kekerasan. Oleh karenanya, mereka seringkali merasa trauma.
Terkadang, korban juga masih memiliki perasaan yang kuat terhadap pasangannya. Mereka memiliki keinginan untuk membantu atau mencintai pasangannya dengan harapan bahwa mereka dapat mengubah perilaku pasangan.
Di awal hubungan, mungkin saja pelaku memiliki sifat yang baik, korban mungkin saja berharap bahwa pasangan mereka akan kembali seperti dulu lagi. Selain itu, alasan lainnya adalah korban percaya pada janji pelaku untuk berubah menjadi lebih baik lagi.
Banyak korban yang ragu untuk angkat bicara karena takut terhakimi oleh orang terdekat.
Jika lebih banyak orang menanggapi cerita korban dengan perhatian dan kasih sayang banding dengan kritik, akan ada lebih banyak korban KDRT yang berbicara mengenai kekerasan.
Page: 1 2
Rembang, Rembangnews.com – Sebagai upaya dalam mempercepat sertifikasi Laik Higiene Sanitasi (SLHS) dan kepemilikan perizinan…
Rembang, Rembangnews.com – Guna mewujudkan pembangunan inklusif, pengarusutamaan gender dan perlindungan anak menjadi strategi utama…
Rembang, Rembangnews.com – Layanan One Day Service untuk pengurusan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan…
Rembang, Rembangnews.com – Banyak lulusan Sekolah Dasar (SD) di Kabupaten Rembang yang saat ini belum…
Rembangnews.com- WhatsApp merupakan salah satu aplikasi pesan instan paling populer di dunia, termasuk di Indonesia.…
Rembangnews.com- Retinol semakin populer di dunia kecantikan dan perawatan kulit. Banyak yang menyebutnya sebagai “bahan…
This website uses cookies.