Rembang, Rembangnews.com – Pupuk Genderuwo menjadi alternatif bagi para petani di Rembang untuk menggantikan pupuk subsidi yang jumlahnya terbatas.
Slamet Supriyadi selaku perwakilan dari Landoh Digital Farm (LDF) memberikan demo secara langsung kepada para petani milenial bagaimana cara pembuatan pupuk yang memiliki nama unik tersebut.
Wujud pupuk Genderuwo sangat keruh karena terbuat dari campuran 200 liter air, 40 kilogram kotoran sapi yang masih baru, 3 kilogram gamping hidup, dan 15 kilogram urea/za/npk.
Semua bahan itu kemudian dilarutkan dengan cairan sullfoxs dan banon agar tanah nantinya menjadi gembur dan bisa memacu pertumbuhan tanaman.
“Pertama, tuangkan kotoran sapi ke dalam drum, isi dengan air 150 liter dan aduk rata. Selanjutnya, secara berurutan, tuangkan gamping, diamkan selama 10 menit, lalu aduk rata. Tuangkan pupuk urea/za/npk, lalu aduk rata. Selanjutnya, tuangkan sullfoxs, aduk rata. Terakhir, tuangkan banon dan aduk rata. Kemudian, tuangkan air hingga drum/blung penuh dan pupuk siap digunakan tanpa perlu fermentasi,” jelasnya.
Ia mengungkap biaya yang dibutuhkan untuk membuat pupuk tersebut adalah Rp241 ribu untuk satu blung. Jika dibandingkan dengan pembelian 5 kwintal pupuk NPK yang bisa mencapai Rp1,2 juta. Maka pupuk Genderuwo jauh lebih murah.
“Tidak ada masa kadaluwarsanya. Kalau ingin dipakai dalam jangka panjang, tinggal ditutup saja blung/drum,” tambahnya.
Manfaat dari pupuk ini juga telah dilihat sendiri oleh Hargo Pudjono, seorang pegiat pertanian di Rembang. Dimana penggunaan pupuk tersebut membuat tanaman tumbuh subur dan cepat berbuah.
“Saya akhirnya membuat sendiri, untuk percobaan kali ini saya membuat 400 liter untuk disiramkan ke tanaman. Karena menarik, saya ingin mengusulkan kepada kepala dinas jika ada kegiatan, pupuk Genderuwo ditampilkan,” ujarnya.
Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Rembang, Agus Iwan Haswanto pun menyambut baik pupuk Genderuwo ini.
“Ketersediaan urea hanya mencukupi sekitar 50 persen, sedangkan NPK hanya 34 persen dari usulan rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK),” jelasnya. (*)