Di awali dari Jawa, Berikut Sejarah Masuknya Kristen ke Nusantara

Rembangnews.com – Kapan waktu masuknya ajaran Kristen di Indonesia masih menjadi teka-teki. Riset terkuat menyebutkan ajaran kristiani masuk ke daratan Nusantara pada abad ke-7 Masehi.

Awalnya ajaran tersebut dibawa oleh orang-orang Portugis dan Belanda saat melakukan ekspedisi di Indonesia. Melalui daerah Barus, pantai barat Sumatera Utara, orang-orang Kristen Nestorian tiba ke Indonesia setelah bertolak dari Timur Tengah untuk mencari rempah-rempah.

Bukti ini dikuatkan dari adanya episkopat Suriah yang berdiri di Sumatera pada abad ke-7.

Kedatangan Portugis pada abad ke-16 di Maluku membawa babak baru masuknya Kekristenan lewat pintu penginjilan. Orang-orang Maluku pun tertarik mengikuti ajaran ini sehingga banyak di antara mereka memeluk agama Katolik. Gereja-gereja pun banyak berdiri di Maluku.

Selain bangsa Portugis, ajaran Kristus juga dibawakan oleh bangsa Belanda. Bangsa Belanda pun berhasil menjangkau Maluku dengan aliran Kalvinisme.

Dari Maluku, kekristenan menyebar hingga ke Pulau Jawa ketika orang-orang Kristen Maluku dipekerjakan sebagai serdadu untuk pasukan Belanda di wilayah strategis, Batavia, Semarang dan Surabaya.

Pada akhir abad ke-17, misionaris melaporkan sebanyak 5.000 jiwa di Indonesia telah memeluk ajaran kekristenan walaupun hanya 8 persen saja yang ikut kebaktian di gereja-gereja.

Baca Juga :   Covid-19 di Indonesia Terkendali, Jokowi Izinkan Masyarakat Lepas Masker

Sejak kedatangan Belanda ke Nusantara, wewenang antara VOC dan misionaris dibedakan. Misionaris fokus berkonsentrasi melakukan penginjilan ke daerah-daerah bekas jajahan Portugis dan Spanyol, seperti Maluku, Minahasa, dan lainnya. VOC hanya fokus untuk menjadi organisasi perdagangan bukan lagi memiliki agenda yang sifatnya spiritual.

Bangkrutnya VOC pada abad ke-19

Kejatuhan VOC pada fajar abad ke-19 membuka jalan untuk penyebaran agama Kristen ke Jawa. Beberapa penginjil dari Eropa termasuk Belanda didatangkan ke Jawa.

Jellesma adalah penginjil pertama yang datang ke Surabaya pada tahun 1847. Ia butuh waktu tiga tahun untuk mendapat izin dari pemerintah Belanda agar dapat melayani di sebuah desa Kristen yang sudah eksis bernama Mojowarno, Jombang. Dalam praktiknya, kerja-kerja Jellesma justru ditujukan untuk memelihara dan mempertebal keimanan orang-orang Kristen ketimbang mengkristenkan orang Jawa.

Setelah tahun kedatangan Jellesma, beberapa penginjil dari Barat datang seperti Hoezoo (1849) di Semarang dan dilanjutkan oleh Jansz (1851), dan Vermeer (1861) yang melayani daerah Pekalongan dan Tegal.

Namun, di antara kedatangan para misionaris Eropa itu, penyebaran agama Kristen di Jawa bukannya tidak pernah melibatkan orang-orang non Gereja. Kemunculan beberapa kampung Kristen yang dibuka oleh orang-orang Kristen tanpa afiliasi resmi dengan hierarki Gereja jadi buktinya. Misalnya saja yang pernah dilakukan Coenrad Laurens Coolen.

Baca Juga :   Truk Tangki Tabrak Pohon dan Rumah di Bantul, Penyebab Sopir Ngantuk

Babat Alas Ngoro dan Mendirikan Desa Tani

Coolen lahir di Semarang antara tahun 1773 dan 1785. Ayahnya campuran Rusia dan Belanda, sementara ibunya seorang Jawa.

Dalam buku Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa karya C. Guillot, perjalanan hidup Coolen tidak dibangun dari ruang-ruang pendidikan agama secara khusus. Meski begitu, laporan dari GKJW menyebutkan bahwa Coolen dididik dalam keluarga Kristen yang keras, dan dengan keluwesannya berbaur dengan orang setempat, ia banyak menyerap ngelmu Jawa.

Coolen pernah bersekolah di Semarang dan bekerja sebagai pelukis. Ia juga pernah masuk tentara di divisi artileri di Surabaya. Di Surabaya Coolen menikah dengan seorang gadis Belanda dan dikarunia lima orang anak.

Saat itu, di Surabaya ada kelompok Yohannes Emde, seorang yang juga tengah menyebarkan agama Kristen dari kalangan non-Gereja. Emde memiliki pandangan gerakan Kristen pietis,  yaitu yang menuntut penyerahan total terhadap Kristus. Singkatnya, Emde membentuk sebuah komunitas Kristen bernama “orang saleh Surabaya”.

Kelompok Emde identik dengan pakaian celana panjang putih, jubah hitam dan topi berwarna hitam. Penyebaran injil dilakukan dari pintu ke pintu sambil membagikan brosur.

Baca Juga :   Jokowi Panggil Kapolri hingga Kapolres se-Indonesia, DPR: Kondisi Darurat

Kembali ke Coolen, tampaknya ia tergelitik dengan masalah-masalah keagamaan setelah berkontak dengan kelompok Emde. Perjalanan Coolen memasuki babak baru ketika ia memutuskan keluar dari dinas tentara dan melanjutkan karier sebagai seorang sinder blandong (pengawas hutan) di daerah Mojoagung.

Pada awal abad ke-19, Mojoagung yang terletak di antara Jombang dan Mojokerto adalah daerah terbengkalai. Pemerintah lebih suka membangun daerah pantai utara Jawa. Penduduk makin menipis, tanah-tanah tak berpenghuni dan menyisakan jejak desa yang ditinggal penduduk. Hal ini membuat Coolen mengajukan izin kepada pemerintah untuk membuka sebidang persil di hutan Ngoro pada tahun antara 1827 dan 1829.

Lepas dari pekerjaan sebagai pengawas hutan, di usianya yang ke-40 tahun, Coolen menjadi seorang petani seiring kesuksesannya membuka lahan seluas 142 hektar. Alih-alih memanfaatkan tanah beserta izinnya untuk membuka perkebunan, Coolen malah membuka lahan pertanian dan mendirikan desa.

Tahun 1834, di Ngoro sudah terdapat 100 lelaki dewasa, 28 remaja berusia lebih dari 15 tahun, dan 122 perempuan. Mereka tinggal dalam 12 gubuk. Setahun berikutnya sekitar seribu orang sudah mendiami persil tersebut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *