Rembangnews.com – Anosmia atau hilangnya kemampuan seseorang untuk mencium bau kerap dialami mereka yang mengidap long Covid-19.
Menurut para ahli yang mempelajari mempelajari ephitelial pada olifaktori menyebut kondisi tersebut terjadi karena berkaitan dengan serangan yang terjadi pada sel saraf yang ada di olfactory atau olifaktori (indra penciuman).
Epithelia sendiri merupakan jaringan dalam hidung yang menjadi tempat sel saraf yang berkaitan penciuman.
Para ahli tersebut mempelajari epithelial dari 24 sampel dan sembilan di antaranya berasal dari orang yang mengalami anosmia cukup lama.
“Pada awal pandemi, sangat sulit melakukan riset yang melibatkan pasien dan mengambil sampel dari yang masih hidup: studi di awal mengandalkan sampel dari otopsi,” kata Bradley Goldstein yang melakukan studi ini kepada IFL Science dilansir dari CNN Indonesia.
“Selain itu, belum jelas juga apakah kehilangan penciuman ini akan pulih di setiap orang atau tidak. Sayangnya, kami punya kekurangan pasien yang mewakili kehilangan penciuman yang awet setelah Covid-19,” lanjutnya.
Mereka pun melakukan pengurutan (sequencing) sel tunggal RNA lalu immunohistochemistry (IHC) terhadap sampel tersebut.
Situs Laboratorium Anatomi Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebut IHC adalah aplikasi immunostaining dasar untuk mengidentifikasi ikatan antigen – antibodi pada suatu sel jaringan tertentu.
Pada lingkup klinis, IHC dapat digunakan sebagai penentuan diagnosis, terapi, dan prognosis kanker.
Dengan cara itu, mereka pun menyebut ada sembilan sampel yang kehilangan kemampuan penciumannya mengandung lebih sedikit neuron sensor olifaktori daripada kontrolnya, yang bisa jadi disebabkan oleh rusaknya jaringan karena inflamasi yang berlangsung.
Mereka juga membandingkan sampel orang yang belum pernah terkena Covid-19 dan penciuman yang normal, dengan orang yang pernah terkena Covid-19 namun penciumannya kembali normal dengan segera.
Ahli menduga orang yang terkena Covid-19 yang pulih tidak kehilangan banyak neuron atau proses pemulihan mereka benar-benar menggantikan neuron yang hilang.
“Kami tahu dari riset sebelumnya, bahwa di bawah kondisi normal area olifaktori di hidung mempertahankan kemampuan menggantikan neuron yang rusak. Jadi, hal itu masuk akal kecuali jika ada inflamasi yang berlangsung (seperti yang kami temukan di post-covid hyposmics) atau kerusakan yang parah yang menyebabkan mekanisme perbaikan kewalahan,” ujar Goldstein.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa terjadi juga infiltrasi terhadap sel T yang terlibat dalam inflamasi pada epithelium.
“Penemuan ini mengesankan. Prosesnya serupa dengan autoimun pada hidung. Kami berharap, memodulasi respon imun yang abnormal atau proses perbaikan di dalam hidung para pasien ini, bisa membantu paling tidak mengembalikan kemampuan mencium secara parsial,” ujarnya. (*)