Rembangnews.com – Hati, akal dan nafsu adalah istilah yang arti dan maknanya masih menjadi perdebatan dalam pemikiran Islam. Artikel ini mencoba mengkaji konsep-konsep tersebut dari perspektif epistemology. Mengingat Al-Qur’an dalam Surat al-A’raf ayat 179 pertama kali menggunakan kata hati untuk merujuk pada unit-unit yang dapat di gunakan untuk berpikir (lahum quluubun la yafqahuuna bihaa : mereka memiliki hati, tetapi mereka tidak menggunakannya untuk mengerti).
Selain kata kunci penting yang terkandung dalam ayat ini, penting untuk mendekati konsep hati dari sudut pandang epistemologis, untuk setidaknya menjelaskan fungsi, dimensi dan posisinya dalam jiwa manusia (jiwa). Dalam Ihya Ulumuddin, Imam al-Ghazali membagi hati menjadi jasmani dan rohani. Hati atau qalbu secara fisik adalah organ tubuh yang terletak di sisi kiri dada, jantung, sedangkan hati spiritual adalah entitas tak terlihat yang mengontrol kerja kognitif dan afektif: penalaran dan perasaan.
Pekerjaan akal di lakukan oleh bagian hati yang disebut akal dan pekerjaan emosional oleh bagian hati yang disebut nafsu. Dengan demikian hati terbagi menjadi dua wilayah, yaitu wilayah akal dan wilayah nafsu.
Kitab al-Muqaddimah Ibnu Khaldu menyatakan bahwa akal adalah alat yang di gunakan untuk mengamati, mengkaji, berpikir, merenungkan, dan merenungkan. Hal itu berguna untuk unit-unit yang ada di dunia dan cenderung lebih berorientasi pada dunia pengalaman indrawi.
Namun, nafsu lebih banyak digunakan untuk mengetahui entitas di alam immaterial di luar jangkauan pikiran material, dan nafsu cenderung ke alam pengalaman non-indrawi. Menurut Ibnu Khaldun, nafsu memiliki beberapa ciri yang berbeda-beda pada setiap individu. Ibn Khaldun membagi nafsu ini menjadi tiga bagian:
Jiwa manusia cenderung memperoleh pengetahuan tentang dunia bawah melalui kekuatan pemahamannya. Jenis jiwa manusia ini hanya dapat memahami makna dari fenomena yang terjadi di dunia. Pengertian jiwa manusia di sini terbatas pada abstraksi al-awwaliyat, yang merupakan dasar pengetahuan dan penalaran rasional. Jiwa ini hanya dapat digunakan secara terbatas dalam hal-hal yang ditangkap oleh panca indera dan pengalaman. Jiwalah yang menyebabkan pikiran mengaktifkan ketajamannya.
Kemudian jiwa manusia kedua ini dapat melepaskan diri dari belenggu dunia dan dapat sepenuhnya menjelajahi dunia spiritual, akhirat, dan di dunia. Jenis jiwa ini dapat melihat malaikat dan mendengar percakapan spiritual serta mendengarkan perintah ilahi di alam ini. Ini adalah jiwa yang secara alami hanya dimiliki oleh para nabi, yaitu mereka tidak memperoleh pengetahuan tentang dunia spiritual melalui pengembangan jiwa, seperti para Sufi, tetapi secara alami, tanpa membutuhkan orang-orang spiritual.
Terakhir di antara dua kualitas jiwa ini ada jiwa yang terletak di antara posisi kedua kualitas jiwa lainnya. Jenis jiwa ini dapat terhubung ke dunia roh, tetapi tidak secara alami seperti para nabi. Jiwa jenis ini dapat bergabung dengan dunia spiritual melalui mujahada, usaha dan latihan terus menerus untuk melepaskan diri dari belenggu dunia.
Singkatnya, hati memungkinkan proses penalaran melalui akal dan proses pengetahuan melalui nafsu. Hati mengaktifkan kedua fungsi ini. Dengan demikian, hati memiliki dua dimensi yaitu dimensi akal dan dimensi nafsu dengan tingkatannya masing-masing. Kedua dimensi hati ini saling melengkapi dan melengkapi pada titik-titik tertentu saling tumpang tindih.